Arsitektur kebencanaan dapat mendukung kebutuhan ruang publik dalam bencana dengan cara sebagai berikut:
1. Aksesibilitas: Arsitektur kebencanaan harus menyediakan aksesibilitas bagi semua individu, termasuk penyandang disabilitas, selama bencana. Ini harus mencakup landai, elevator, dan fitur aksesibilitas lainnya untuk individu dengan keterbatasan gerak.
2. Fleksibilitas: Ruang publik di daerah rawan bencana harus dirancang dengan mempertimbangkan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang tiba-tiba selama dan setelah bencana. Misalnya, penghalang yang dapat dipindahkan dapat dipasang untuk melindungi dari banjir, dan atap yang dapat ditarik dapat dirancang untuk melindungi interior dari hujan lebat.
3. Ketahanan: Arsitektur bencana harus cukup tangguh untuk menahan bencana alam seperti gempa bumi, angin, dan banjir, tanpa mengurangi keselamatan individu di dalam gedung.
4. Penerangan yang memadai: Ruang publik di daerah rawan bencana harus memiliki penerangan yang memadai untuk membantu petugas penyelamat, membantu upaya evakuasi, dan memberikan rasa aman bagi individu yang tinggal di dalam atau di sekitarnya.
5. Desain berkelanjutan: Arsitektur bencana harus memprioritaskan praktik desain berkelanjutan yang meminimalkan kerusakan lingkungan dan menyediakan sumber daya energi dan air yang memadai untuk menopang penghuni ruang publik selama dan setelah bencana. Ini termasuk menggunakan sumber energi terbarukan, teknologi konservasi air, dan strategi pengelolaan limbah.
6. Partisipasi masyarakat: Ruang publik di daerah rawan bencana harus memungkinkan partisipasi masyarakat dalam proses desain dan perencanaan. Masyarakat harus dilibatkan dalam mengidentifikasi potensi bahaya dan mengusulkan solusi yang memenuhi kebutuhan unik mereka.
Tanggal penerbitan: