1. Kurangnya Kesadaran: Di banyak negara berkembang, kurangnya kesadaran mengenai arsitektur hijau. Masyarakat belum memahami manfaat green building dan bagaimana penerapannya.
2. Kurangnya Pendanaan dan Sumber Daya: Bangunan hijau lebih mahal untuk dibangun daripada bangunan tradisional, dan banyak negara berkembang sering kekurangan dana dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyek bangunan hijau.
3. Ketersediaan Teknologi yang Efisien: Penggunaan teknologi yang efisien diperlukan untuk penerapan arsitektur hijau, tetapi negara-negara berkembang seringkali tidak memiliki akses ke teknologi terbaru dan paling efisien. Ini juga terkait dengan kurangnya dana yang tersedia di negara-negara tersebut untuk berinvestasi dalam sumber daya.
4. Masalah Peraturan: Banyak negara berkembang tidak memiliki kerangka peraturan yang kuat untuk bangunan dan konstruksi. Ketiadaan infrastruktur hukum yang kuat dapat mempersulit penegakan aturan bangunan hemat energi, dan ini menghambat penerapan arsitektur hijau.
5. Perubahan Iklim dan Adaptasi: Banyak negara berkembang diharapkan menjadi salah satu yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan perancangan bangunan yang dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi iklim. Namun, banyak negara berkembang tidak siap untuk menghadapi bencana alam, sehingga sulit untuk menerapkan arsitektur hijau.
6. Bahan dan Praktik Bangunan: Banyak negara berkembang masih menggunakan bahan dan metode konstruksi tradisional, yang tidak hemat energi. Ini berarti bahwa dalam banyak kasus, perubahan signifikan dalam bahan dan praktik bangunan diperlukan untuk menerapkan arsitektur hijau.
7. Pendidikan dan Pelatihan: Diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dalam arsitektur hijau untuk arsitek, insinyur, pekerja konstruksi, dan profesional terkait lainnya. Namun, banyak negara berkembang kekurangan lembaga yang diperlukan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan tersebut, sehingga lebih sulit untuk menerapkan arsitektur hijau.
Tanggal penerbitan: